Menu

Rabu, 05 Agustus 2009

FIQIH PUASA BAGI MUSLIMAH

I. Muqoddimah

Dalam surat Al-Baqoroh : 183, Allah SWT memerintahkan umat Islam
melaksanakan shiyam, untuk mencapai derajat taqwa. Perintah ini adalah
umum, baik untuk pria maupun wanita. Tetapi dalam perincian pelaksanaan
shiyam, ada beberapa hukum khusus bagi wanita. Hal ini terjadi karena
perbedaan fithrah yang ada pada wanita yang tidak dimiliki oleh pria.
Dalam kajian ini insya Allah akan dibahas hukum-hukum yang berkaitan
dengan wanita secara khusus.

II. Panduan Umum

1. Wanita sebagaimana pria disyari'atkan memanfaatkan bulan suci ini
untuk hal-hal yang bermanfaat, dan memperbanyak menggunakan waktu untuk
beribadah. Seperti memperbanyak bacaan Al-Qur'an, dzikir, do'a, shodaqoh
dan lain sebagainya, karena pada bulan ini amal sholeh dilipatgandakan
pahalanya.

2. Mengajarkan kepada anak-anaknya akan nilai bulan Ramadhan bagi umat
Islam, dan membiasakan mereka berpuasa secara bertahap (tadarruj), serta
menerangkan hukum-hukum puasa yang bisa mereka cerna sesuai dengan
tingkat kefahaman yang mereka miliki.

3. Tidak mengabiskan waktu hanya di dapur, dengan membuat berbagai
variasi makanan untuk berbuka. Memang wanita perlu menyiapkan makanan,
tetapi jangan sampai hal itu menguras seluruh waktunya, karena ia juga
dituntut untuk mengisi waktunya dengan beribadah dan bertaqorrub kepada
Allah.

4. Melaksanakan shalat pada waktunya (awal waktu)

III. Hukum Berpuasa bagi Muslimah

Berdasarkan umumnya firman Allah SWT (QS. Al Baqoroh: 183) serta hadits
Rasulullah SAW (HR.Bukhori & Muslim), maka para ulama' ber-ijma'
(sepakat) bahwa hukum puasa bagi muslimah adalah wajib, apabila memenuhi
syarat-syarat; antara lain: Islam, akil baligh, muqim, dan tidak ada
hal-hal yang menghalangi untuk berpuasa.

IV. Shalat Tarawih, I'tikaf dan Lailat al Qodar

Wanita diperbolehkan untuk melaksanakan shalat tarawih di masjid jika
aman dari fitnah. Rasulullah SAW bersabda: " Janganlah kalian melarang
wanita untuk mengunjungi masjid-masjid Allah " (HR. Bukhori).

Perilaku ini juga dilakukan oleh para salafush shaleh. Namun demikian,
wanita diharuskan untuk berhijab (memakai busana muslimah), tidak
mengeraskan suaranya, tidak menampakkan perhiasan- perhiasannya, tidak
memakai angi-wangian, dan keluar dengan izin (ridlo) suami atau orang
tua. Shof wanita berada dibelakang shof pria, dan sebaik-baik shof
wanita adalah shof yang di belakang (HR. Muslim).

Tetapi jika ia ke masjid hanya untuk shalat, tidak untuk yang lainnya,
seperti mendengarkan pengajian, mendengarkan bacaan Al-Qur'an (yang
dialunkan dengan baik), maka shalat di rumahnya adalah lebih afdlol.
Wanita juga diperbolehkan melakukan i'tikaf baik di masjid rumahnya
maupun di masjid yang lain bila tidak menimbulkan fitnah, dan dengan
mendapatkan izin suami, dan sebaiknya masjid yang dipakai i'tikaf
berdekatan dengan rumahnya serta terdapat fasilitas khusus bagi wanita.
Disamping itu wanita juga di perbolehkan menggapai 'lailat al qodar',
sebagaimana hal tersebut dicontohkan Rasulullah SAW dengan sebagian
isteri beliau. (Lebih lanjut lihat panduan tentang i'tikaf dan lailat al
qodar).

V. Wanita Haidh dan Nifas

Shiyam dalam kondisi ini hukumnya haram. Apabila haid atau nifas keluar
meski sesaat sebelum maghrib, ia wajib membatalkan puasanya dan
mengqodo'nya (mengganti) pada waktu yang lain.Apabila ia suci pada siang
hari, maka untuk hari itu ia tidak boleh berpuasa, sebab pada pagi
harinya ia tidak dalam keadaan suci.Apabila ia suci pada malam hari
Ramadhan meskipun sesaat sebelum fajar, maka puasa pada hari itu wajib
atasnya, walaupun ia mandi setelah terbit fajar.

VI. Wanita Hamil dan Menyusui

a..Jika wanita hamil itu takut akan keselamatan kandungannya, ia boleh
berbuka.

b. Apabila kekhawatiran ini terbukti dengan pemeriksaan secara medis
dari dua dokter yang terpercaya, berbuka untuk ibu ini hukumnya wajib,
demi keselamatan janin yang ada dikandungannya.

c. Apabila ibu hamil atau menyusui khawatir akan kesehatan dirinya,
bukan kesehatan anak atau janin, mayoritas ulama' membolehkan ia
berbuka, dan ia hanya wajib mengqodo' (mengganti) puasanya. Dalam
keadaan ini ia laksana orang sakit.

d. Apabila ibu hamil atau menyusui khawatir akan keselamatan janin atau
anaknya (setelah para ulama' sepakat bahwa sang ibu boleh berbuka),
mereka berbeda pendapat dalam hal: Apakah ia hanya wajib mengqodo' ?
atau hanya wajib membayar fidyah (memberi makan orang miskin setiap hari
sejumlah hari yang ia tinggalkan) ? atau kedua-duanya qodho' dan fidyah
(memberi makan):

e. Ibnu Umar dan Ibnu Abbas membolehkan hanya dengan memberi makan orang
miskin setiap hari sejumlah hari yang ditinggalkan.

f. Mayoritas ulama' mewajibkan hanya mengqodho'.

g. Sebagian yang lain mewajibkan kedua-duanya; qodho' dan fidyah.

h. DR. Yusuf Qordhowi dalam Fatawa Mu'ashiroh mengatakan bahwa ia
cenderung kepada pendapat yang mengatakan cukup untuk membanyar fidyah
(memberi makan orang setiap hari), bagi wanita yang tidak henti-hentinya
hamil dan menyusui. Tahun ini hamil, tahun berikutnya menyusui, kemudian
hamil dan menyusui, dan seterusnya, sehingga ia tidak mendapatkan
kesempatan untuk mengqodho' puasanya. Lanjut DR. Yusuf al-Qordlowi;
apabila kita membebani dengan mengqodho' puasa yang tertinggal, berarti
ia harus berbuasa beberapa tahun berturut-turut setelah itu, dan itu
sangat memberatkan , sedangkan Allah tidak menghendaki kesulitan bagi
hambaNya.

VII. Wanita yang Berusia lanjut

Apabila puasa membuatnya sakit, maka dalam kondisi ini ia boleh tidak
berpuasa. Secara umum, orang yang sudah berusia lanjut tidak bisa
diharapkan untuk melaksanakan (mengqodho') puasa pada tahun-tahun
berikutnya, karena itu ia hanya wajib membayar fidyah (memberi makan
orang miskin).

VIII. Wanita dan Tablet Pengentas Haidh

Syekh Ibnu Utsaimin menfatwakan bahwa penggunaan obat tersebut tidak
dianjurkan. Bahkan bisa berakibat tidak baik bagi kesehatan wanita.
Karena haid adalah hal yang telah ditakdirkan bagi wanita, dan kaum
wanita di masa Rasulullah SAW tidak pernah membebani diri mereka untuk
melakukan hal tersebut. Namun apabila ada yang melakukan, bagaimana
hukumnya ?.

Jawabnya:

- Apabila darah benar-benar terhenti, puasanya sah dan tidak
diperintahkan untuk mengulang. Tetapi apabila ia ragu, apakah darah
benar-benar berhenti atau tidak,maka hukumnya seperti wanita haid, ia
tidak boleh melakukan puasa. ( Masa'il ash Shiyam h. 63 & Jami'u Ahkam
an Nisa' 2/393)

IX. Mencicipi Masakan

Wanita yang bekerja di dapur mungkin khawatir akan masakan yang
diolahnya pada bulan puasa, karena ia tidak dapat merasakan apakah
masakan tersebut keasinan atau tidak atau yang lain-lainnya. Maka
bolehkah ia mencicipi masakannya ?. Para ulama' memfatwakan tidak
mengapa wanita mencicipi rasa masakannya, asal sekedarnya dan tidak
sampai di tenggorokan, dalam hal ini diqiyaskan dengan berkumur. (Jami'u
Ahkam an Nisa').

X. Penutup

Demikian panduan ringkas ini, semoga para wanita muslimah dapat
memaksimalkan diri beribadah selama bulan Ramadhan tahun ini, untuk
meraih nilai taqwa.

0 komentar:

Posting Komentar